Dalam survei yang dilakukan oleh Global Data, pasar farmasi Indonesia adalah pasar terbesar di kawasan ASEAN, dengan nilai sebesar IDR 141.6 miliar (USD 10.11 miliar) pada tahun 2021.
Program “Jaminan Kesehatan Nasional” (JKN) di Indonesia merupakan salah satu alasan program pasar farmasi Indonesia telah meningkat sejak 2016. Program ini bertujuan memenuhi kebutuhan lebih dari 260 juta orang Indonesia untuk memastikan semua penduduk Indonesia memiliki asuransi kesehatan pada Januari 2019.
Pasar generik tidak bermerek diestimasi berada di IDR 8.7 triliun (USD 619 juta), berkontribusi sebesar 10.8 persen terhadap pangsa pasar farmasi. Jumlah ini diharapkan meningkat seperti perkenalan dari JKN dan semakin bergantungnya Indonesia terhadap program ini.
Saat ini ada lebih dari 210 manufaktur obat, yang 70 persennya adalah manufaktur domestik, menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Batasan kepemilikan sudah dipermudah dan telah dinyatakan dalam Daftar Negatif Investasi. Dengan regulasi pemerintah yang baru, perusahaan asing sekarang bisa memperoleh kepemilikian 100 persen, yang sebelumnya hanya 75 persen. Sebagai hasilnya, akan sangat positif jika berharap bahwa investasi langsung di sektor farmasi akan mencapai IDR 277.4 triliun (USD 19.8 miliar) selama 2015-2025.
Pengeluaran per kapita untuk farmasi di Indonesia meningkat cepat. Dilihat dari sejarah, Indonesia pernah memiliki salah satu tingkat konsumsi obat terendah di Asia. Namun sekarang, hanya untuk farmasi OTC, pemasukan per orang telah meningkat secara signifikan menjadi IDR 183,250 (USD 13.08), sehubungan dengan figur total populasi. Karena pendapatan per kapita diperkirakan akan meningkat dalam dasawarsa selanjutnya, orang Indonesia akan menghabiskan uang lebih banyak untuk perawatan kesehatan.
Banyaknya penyakit kronis dan meningkatnya pendapatan kelas menengah juga menjadi faktor utama yang berkontribusi terhadap meningkatnya permintaan obat. Pada tahun 2022, total pengeluaran untuk perawatan kesehatan di Indonesia diperkirakan akan melonjak menjadi IDR 277.4 triliun (USD 47.1 miliar).
Untuk Anda tahu, produk farmasi halal juga harus didaftarkan karena jika tidak, maka produk akan menjadi non-halal. Cari tahu lebih banyak di sini.
Perluasan jenis produk dan peningkatan permintaan obat generik menjadi kunci utama yang mendorong pertumbuhan pasar farmasi di Indonesia. Hampir 75 persen kebutuhan obat di Indonesia dipenuhi oleh perusahaan domestik. Perusahaan asing menutupi sisanya yakni sebesar 25%. Kalbe Pharma, manufaktur obat domestik terbesar di Indonesia, memegang 15% pangsa pasar. Bersama, Bayer, Pfizer dan GlaxoSmithKline memegang 8 persen ukuran pasar. Namun, sehubungan dengan bahan mentah, sekitar 95% dari bahan obat di Indonesia masih diimpor, menurut Asosiasi Farmasi Indonesia.
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, untuk mendukung investasi asing yang lebih banyak lagi di sektor farmasi, pemerintah mengubah undang-undang dari sebelumnya kepemilikan asing pasial menjadi 100% kepemilikan asing. Sebagai hasilnya, pada awal 2017, beberapa manufaktur farmasi multinasional dengan semangat mulai membangun pabrik di sektor ini, terutama untuk bahan mentah. Perusahaan-perusahaan ini memanfaatkan sumber daya substansial di Indonesia, melihat prospek besar di Indonesia, yang merupakan rumah dari sekitar 30,000 tanaman obat dan herbal dari total 40,000 yang ada di dunia.
Satu hal yang pasti adalah semua kesempatan ini akan memberikan pertumbuhan luar biasa lainnya kepada sektor farmasi yang sudah berkembang. Tidak ada lagi ruang tersisa untuk investasi asing di industri farmasi, terutama industri hulu setelah pemerintah membuat perubahan untuk melonggarkan batasan terhadap investasi asing.
Registrasi Halal bersama Cekindo
Memulai Bisnis di ASEAN: di Mana dan Mengapa
Lisensi Bisnis Impor di Indonesia
Cekindo dapat membantu Anda melakukan registrasi produk di Indonesia. Silakan isi form di bawah ini dan jangan ragu untuk menghubungi kami.